Jumat, 22 Juli 2016

MAKALAH: Al-Hadist Sebagai Sumber

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ketika Muhammad mendekati batas akhir hayatnya, masyarakat Arab telah menjelma menjadi umat yang terkondisikan dengan baik di atas norma-norma Islam. Dalam keadaan demikian, beliau merasa telah berhasil merampungkan misi kerasulannya yang sudah diembannya sejak pertama kali menerima wahyu. Dalam mejalankan misinya itu, seluruh perilaku dan kondisi yang hadir pada diri Muhammad dipersepsikan sebagai sistem etika universal yang menjadi sumber hukum yang kedua setelah Al-Qur’an. Sebab sistem etika tersebut tidak lepas dari kerangka etika Al-Qur’an. Pernyataan ini didukung oleh salah satu riwayat yang disampaikan oleh Aisyah bahwa perilaku (akhlak) Muhammad adalah Al-Qur’an.

Riwayat di atas menunjukkan bahwa keberadaan hadits (sunnah) Nabi sangat penting dan mendasar karena kedudukannya sebagi sumber hukum sama dengan Al-Qur’an. Namun jika diurut secara hirarkis maka sumber hukum yang pertama adalah Al-Qur’an, sedangkan hadits menempati posisi yang kedua. Keduanya menjadi satu-kesatuan yang intregral.
Hal ini akan terasa sekali ketika seseorang membaca atau mendapati ayat-ayat Al-Qur’an yang masih sangat global, tidak terpirinci, dan kerap kali terdapat keterangan-keterangan yang bersifat tidak muqoyyad.  Seperti perintah tentang kewajiban sholat. Dalam Al-Qu’ran, tidak dijelaskan bagaimana cara seseorang untuk mendirikan sholat, ada berapa rokaat, apa yang harus dibaca, dan apa saja syarat rukunnya. Akan  tetapi, dari Hadist kita dapat mengetahui tata caranya sebagaimana yang telah disyariatkan. Oleh karenanya, keberadaan Hadist memilki kedudukaan dan keistimewaan dalam kehidupan sehari-hari.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat di rumuskan masalah sebagai berikut:
1. Apa itu Al-Hadits?
2. Bagaimana sejarah singkat pengumpulan?
3. Bagaimana kedudukan Al-Hadits terhadap Al-Qur’an?
4. Bagaimana kedudukan dan keistimewaan Al-Hadits dalam kehidupan sehari-hari?

C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui apa itu Al-Hadits.
2. Mengetahui sejarah singkat pengumpulan Al-Hadist.
3. Mengetahui kedudukan Al-Hadits terhadap Al-Qur’an.
4. Mengetahui kedudukan dan keistimewaan Al-Hadits dalam kehidupan sehari-hari






BAB II
PEMBAHASAN
A. Al-Hadits
1. Pengertian Hadits
Pengertian Hadits dapat diartikan menurut dua cara yakni menurut bahasa dan menurut terminoligi. Hadits menurut bahasa terdiri dari beberapa arti, yaitu :
a. Jadid yang berarti baru
b. Qarid yang artinya dekat, dan
c. Khabar yang artinya berita
Sedangkan pengertian Hadits secara terminologis adalah :
“Segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW baik berupa perkataan, perbuatan, pernyataan (taqrir) maupun sifatnya”. (Mahfud Al-Tirmasi).
Seperti disebutkan di atas, bahwa definisi ini memuat empat elemen, yaitu perkataan, perbuatan, pernyataan, dan sifat-sifat lain. Secara lebih jelas dari ke empat elemen tersebut dapat penulis uraikan sebagai berikut:
a. Perkataan 
Yang dimaksud dengan perkataan adalah segala perkataan yang pernah diucapkan oleh Nabi Muhammad SAW dalam berbagai bidang, seperti bidang syariah, akhlaq, aqidah, pendidikan dan sebagainya.
b. Perbuatan
Perbuatan adalah penjelasan-penjelasan praktis Nabi Muhammad SAW terhadap peraturan-peraturan syara’ yang belum jelas teknis pelaksanaannya. Seperti halnya jumlah rakaat, cara mengerjakan haji, cara berzakar dan lain-lain. Perbuatan nabi yang merupakan penjelas tersbut haruslah diikuti dan dipertegas dengan sebuah sabdanya.
c. Taqrir 
Taqrir adalah keadaan beliau yang mendiamkan atau tidak mengadakan sanggahan dan reaksi terhadap tindakan atau perilaku para sahabatnya serta menyetujui apa yang dilakukan oleh para sahabatnya itu.
d. Sifat, Keadaan dan Himmah Rasulullah
Sifat-sifat, dan keadaan himmah Nabi Muhammad SAW adalah merupakan komponen Hadits yang meliputi :
Sifat-sifat Nabi yang digambarkan dan dituliskan oleh para sahabatnya dan dan para ahli sejarah baik mengenai sifat jasmani ataupun moralnya
Silsilah (nasab), nama-nama dan tahun kelahirannya yang ditetapkan oleh para sejarawan
Himmah (keinginan) Nabi untuk melaksanakan suatu hal, seperti keinginan beliau untuk berpuasa setiap tanggal 9 Muharram

2. Bentuk-Bentuk Al-Hadist
Dilihat dari segi bentuk, Al-Hadits dibagi tiga yaitu:
a. Al-Hadits Qauliyah
Al-Hadits Qauliyah ialah Hadits dalam bentuk perkataan atau ucapan Rasulullah Saw. yang menerangkan dan merinci isi Al-Qur’an. Contohnya ialah Hadits tentang do’a Rasulullah Saw. yang ditujukan kepada orang yang mendengar, menghafal, dan menyampaikan ilmu, hadis tersebut adalah:
“Semoga Allah memberi kebaikan kepada orang yang mendengarkan suatu hadis dariku, kemudian  menghafal dan menyampaikan kepada orang lain. . .”(H.R.Ahmad).
Contoh kedua ialah Hadits tentang do’a-do’a yang dikabulkan oleh Allah, yaitu:
Abu Hurairah r.a berkata, bahwa Rasulullah Saw. bersabda, “Ada tiga do’a yang mustajab dan tidak diragukan lagi, yaitu do’a orang yang teraniaya, do’a orang yang bepergian, dan do’a kedua orang tua kepada anaknya.” (H.R. turmidzi).
b. Al-Hadist Fi’liyah
Yaitu perbuatan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad yang dilihat atau diketahui oleh sahabat kemudian disampaikannya kepada orang lain dengan ucapannya dan menjadi keharusan bagi umat Islam untuk mengikutinya.
Salah satu cara tata cara yang dicontohkan Nabi Saw. dalam melaksanakan salat adalah cara mengangkat tangan ketika bertakbir di dalam salat, seperti yang dituturkan oleh ‘Abdullah bin ‘Umar r.a. sebagai berikut:
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar ra, ia berkata : “Aku melihat rasullah Saw. apabila dia berdiri melaksanakan salat, dia mengangkat kedua tangannya setentang kedua bahunya, dan hal tersebut dilakukan beliau ketika bertakbir hendak rukuk’, dan beliau juga melakukan hal itu ketika bangkit dari rukuk’ seraya membaca “sami’a Allahu liman hamidah”. Beliau tidak melakukan hal itu (yaitu mengangkat kedua tangan) ketika akan sujud” (H.R. Bukhari).
Contoh lain tentang do’a yang paling banyak dilakukan Rasul Saw.: “Do’a yang paling banyak dilakukan Nabi Saw. adalah Allahumma aatina fiddun-yaa hasanatan wa fi al-akhirati hasanah waqina adzaban-aar “(Bukhari dan Muslim).
c. Al-Hadist Taqririyah
Yaitu perbuatan seseorang sahabat yang dilakukan di hadapan atau sepengatahuan Nabi, tetapi tidak ditanggapi atau tidak dicegah oleh Nabi. Diamnya Nabi tersebut disampaikan oleh sahabat lain dengan ucapannya. Umpamanya seseorang sahabat memakan daging dab dihadapan Nabi. Nabi mengetahui apa yang dimakan apa yang dimakan sahabat tersebut tetapi Nabi tidak melarangnya. Kisah tersebut disampaikan oleh sahabat yang mengetahuinya dengan ucapannya: “Saya melihat seseorang sahabat memakan dab di dekat nabi, Nabi mengetahui tetapi Nabi tidak melarang”.

Dilihat dari periwayatannya Hadits dibedakan menjadi :
a. Hadits Mutawatir: Hadits yang diriwayatkan oleh orang banyak yang tidak terhitung jumlahnya, yang karena banyaknya ini menurut akal, tidak mungkin mereka bersepakat untuk berdusta.
b. Hadits Masyhur: Hadits yang perawi lapis pertamanya beberapa orang sahabat atau lapis keduanya beberapa orang tabi’in, setelah itu tersebar luas menukilkan orang banyak yang tak dapat mereka bersepakat untuk berdusta.
c. Hadits Ahad: Hadits yang diriwayatkan oleh seorang atau lebih tetapi tidak cukup terdapat padanya sebab-sebab yang menjadikannya ke tingkat Masyhur.
Dilihat dari kualitasnya Hadits dibedakan menjadi :
a. Hadits Shahih: Hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, hafalannya sempurna (dhabith), sanadnya bersambung, tidak terdapat padanya keganjilan (syadz) dan tidak cacat (‘illah).
b. Hadits Hasan: Hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, hafalannya kurang sempurna, sanadnya bersambung, tidak terdapat keganjilan daan tidak cacat.
c. Hadits Dha’if: Hadits yang kehilangan salah satu dari syarat-syarat Hadits Shahih atau Hadits Hasan.
d. Hadits Maudhu’: Hadits palsu yaitu Hadits yang dibuat-buat oleh seseorang dan dikatakan sebagai sabda atau perbuatan Nabi Saw.

B. Sejarah Singkat Pengumpulan
Pengumpulan Sunnah Nabi Muhammad ke dalam kitab, baru mulai dilaksanakan pada akhir abad pertama Hijriyah, ketika Khalifah Umar bin Abdul Aziz dari dinasti Umayyah, pada tahun 718 M memerintahkan para gebernurnya untuk membukukan Sunnah Nabi Muhammad agar tidak hilang atau dilupakan orang. Perintah ini dilaksanakan oleh Muhammad Syihab az-Zuhri di Madinah. Pengumpulan ini masih sangat sederhana, belum jelas klasifikasi dan sistematikanya, masih bercampur, misalnya hadis yang berkenaan dengan haji dengan hadis yang berkenaan dengan hadis yang berkenaan dengan nikah, jual-beli dan sebagainya. Baru pada pemerintahan al-Mansyur dari dinasti Abbasiyah (754-774 M) kompilasi Sunnah ke dalam kitab-kitab hadis dilakukan secara teratur dengan sistematik yang rapi. Satu setengah abad setelah Nabi Muhammad wafat, tersusunlah kitab-kitab hadis, misalnya karya Abu Hanifah bernama al Fiqhi, kemudian disusul oleh karya Malik bin Anas dengan judul al-Mutawaththa, sebuah himpunan hadis hukum Islam yang masih dipakai sampai sekarang, juga oleh Pengadilan Agama di Indonesia. Sesudah itu muncul berturut-turut kompilasi hadis yang bernama as-Sunan susunan Mohammad Idris as-Syafi’i dan al-Musnad karya Ahmad bin Hambal (Nazarudidin Razak, 1977:104-105). Ke empat imam mazhab ini mempunyai karya sendiri tentang hadis-hadis hukum.  
Pembukuan hadits yang tersusun secara sempurna dilakukan pada abad ketiga hijriyah atau abad ke Sembilan masehi, setelah para imam yang mendirikan mahzab yang empat itu meninggal dunia. Ini dilakukan oleh para ahli yang mengkhususkan diri mengkaji Sunnah Nabi Muhammad dengan suatu sistem tersendiri. Bukhari dan Muslim ,misalnya,dua diantara tokoh terkemuka dalam penyusunan hadits menentukan syarat-syarat yang berat untuk menilai hadits-hadits yang dapat diterima dan ditetapkan sebagai valid atau shahih (sah). Syarat-syarat itu dihubungkan dengan pribadi orang-orang yang menyampaikan hadits itu yakni harus mempunyai watak yang terpuji,jujur,teliti,cermat dan kuat ingatannya. Selain itu mata rantai rangkaian(nama) orang-orang yang menyampaikan atau meriwayatkan hadits secara lisan turun-temurun haruslah tidak terputus-putus dari generasi ke generasi. Orang yang segenerasi (seangkatan) dengan nabi disebut para sahabat ,angkatan kedua dinamai tabi’in (pengikut), angkatan ketiga disebut tabi’ tabi’in( pengikut dari pengikut). Hadits yang diriwayatkan oleh tabi’in saja misalya,tidak akan diterima (oleh Bukhari) karena mata rantai orang yang meriwayatkan  hadits itu terputus  satu angkatan.  Pada masa itu, syarat-syarat mengukur sahih tidaknya suatu hadits hanya dikenakan  pada kepribadian  orang yang meriwayatkannya, tidak pada materi hadits itu sendiri (H.M. Rasjidi,1980;457).
Bukhari (m.d 870), penyusun kitab yang terkenal dengan sebutan Sahih Bukhari itu, menyusun kitabnya selama 16 tahun. Waktu menyaring sekian banyak hadis yang dikumpulkannya dari sekian banyak orang ditempat yang berbeda-beda, ia berpegang teguh pada kriteria yang ditetapkannya dan sebelum menuliskan hadis yang kemudian dikategorikannya sebagai hadis sahih, ia salat istikharah (salat memohon petunjuk Allah) lebih dahulu. Muslim, ahli hadis yang lain, yang meninggal dunia pada tahun 875 M, menyusun kitab hadis lain yang tekenal dengan nama Sahih Muslim. Ke dua kitab hadis sahih yang disusun oleh Bukhari dan Muslim itu dipercayai keotentikannya oleh ummat Islam dijadikan sumber hukum Islam kedua setelah Al-qur’an. Bukhari dan Muslim mempergunakan lima kategori dalam dalam melakukan klasifikasi hadis-hadis yang dikumpulkannya. Kategori-kategori itu adalah (1) kekuatan ingatan dan ketelitian perawinya (2) integritas pribadi orang yang menyampaikannya (3) tidak terputus mata rantai penghubungnya dari generasi ke genarasi (4) tidak terdapat cacat mengenai isinya dan (5) tidak janggal dilihat dari susunan bahasanya. Kriteria inilah yang menentukan kualiatas hadis itu apakah ia sahih(otentik), hasan (baik) atau da’if (lemah).
Dalam abad ketiga Hijriah , selain Bukhari dan Muslim  ada juga ahli yang memusatkan perhatiannya pada  penelitian hadits . Mereka adalah Ibnu Majah,Abu Daud,at-Tarmizi dan an-Nasa’I (dan lain-lain). Kumpulan hadits ke enam ahli ini, dalam keputustakaan,disebut al-kutub as-sittah , baca kutubus sittah, (enam kitab hadits), masing-masing disusun (menurut tahu meninggalnya) oleh(1) Bukhari,m.d 870 M, (2) Muslim, m.d 875 M, (3) Ibnu (Ibn) Majah,m.d 886 M, (4)Abu Daud, m.d 888 M, (5) at-Tarmizi, m.d. 892 M, dan (6) an-Nasa’i, m.d 915 M.

C. Kedudukan Al-Hadist terhadap Al-Qur’an
Seluruh umat Islam, telah sepakat bahwa Hadits merupakan salah satu  sumber ajaran Islam. Ia mempati kedudukan kedua setelah Al-Qur`an. Keharusan mengikuti hadits bagi umat Islam baik yang berupa perintah maupun larangannya, sama halnya dengan kewajiban mengikuti Al-Qur`an. 
Hal ini karena, Hadits merupakan mubayyin bagi Al-Qur`an,  yang karenanya siapapun yang tidak bisa memahami Al-Qur`an tanpa dengan memahami dan menguasai Hadits. Begitu pula halnya menggunakan Hadist tanpa Al-Qur`an. Karena Al-qur`an merupakan dasar hukum pertama, yang di dalamnya berisi garis besar syari`at. Dengan demikian, antara Hadits dengan Al-Qur`an memiliki kaitan erat, yang untuk mengimami dan mengamalkannya tidak bisa terpisahkan atau berjalan dengan sendiri. 
Al-Qur’an itu menjadi sumber hukum yang pertama dan Al-Hadits menjadi asas perundang-undangan setelah Al-Qur’an sebagaimana yang dijelaskan oleh Dr. Yusuf Al-Qardhawi  bahwa Hadits adalah “sumber hukum syara’ setelah Al-Qur’an”.
Al-Qur’an dan Hadits merupakan sumber pokok ajaran Islam dan merupakan rujukan umat Islam dalam memahami syariat. Pada tahun 1958 salah seorang sarjana Barat yang telah mengadakan penelitian dan penyelidikan secara ilmiah tentang Al-Qur’an mengatakan bahwa: “Pokok-pokok ajaran Al-Qur’an begitu dinamis serta langgeng abadi, sehingga tidak ada di dunia ini suatu kitab suci yang lebih dari 12 abad lamanya, tetapi murni dalam teksnya”. 
Menurut Ahmad hanafi “Kedudukan Hadits sebagai sumber hukum sesudah Al-Qur’an…merupakan hukum yang berdiri sendiri.” Keberlakuan Hadits sebagai sumber hukum diperkuat pula dengan kenyataan bahwa Al-Qur`an hanya memberikan garis-garis besar dan petunjuk umum yang memerlukan penjelasan dan rincian lebih lanjut untuk dapat dilaksanakan dalam kehidupan manusia. Karena itu, keabsahan Hadits sebagai sumber kedua secara logika dapat diterima. Di antara ayat-ayat yang menjadi bukti bahwa Hadits merupakan sumber hukum dalam Islam  adalah firman Allah dalam Al-Qur’an surah An- Nisa’: 80
مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ … (80)
“Barangsiapa yang mentaati Rasul, maka sesungguhnya dia telah mentaati Allah…”
Sejak masa sahabat sampai hari ini para ulama telah bersepakat dalam penetapan hukum didasarkan juga kepada Hadits Nabi, terutama yang berkaitan dengan petunjuk operasional. 
Dalam ayat lain Allah berfirman QS. Al-Hasyr :: 7
وَمَا آَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا 
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah…” 
Dalam Q.S AnNisa’ 59, Allah berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ
 تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ …
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu,maka kembali kanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya)…”
Dari beberapa ayat di atas dapat disimpulkan bahwa seseorang tidak cukup hanya berpedoman pada Al-Qur’an dalam melaksanakan ajaran Islam, tapi juga wajib berpedoman kepada Hadits Rasulullah Saw. 

D. Kedudukan Dan Keistimewaan Al-Hadits Dalam Kehidupan Sehari-Hari
Siapa saja dari umat Rasulullah Saw. yang berupaya untuk senantiasa mengikuti dan mentaati beliau Allah Swt. dengan ikhlas serta menjadikannya sebagai suri tauladan dalam kehidupan sehari-hari, maka sungguh ia akan mendapatkan sekian banyak keutamaan yang dijanjikan oleh Allah Swt dan Rasul-Nya di antaranya adalah sebagaimana keterangan berikut ini:

1. Mengikuti sunnah Rasulullah Saw. merupakan sebab diterimanya suatu amalan.
Telah kita ketahui bersama bahwa dua prinsip dasar yang harus selalu beriringan dalam melandasi suatu amal agar diterima oleh Allah Swt. adalah keikhlasan dan mengikuti sunnah Rasulullah Saw. Sebaliknya, apabila hilang salah satu dari keduanya, maka amalan itu tidak akan diterima oleh Allah Swt, dan hendaknya kita khawatir suatu amal shalih yang kita kerjakan akan ditolak atau tidak diterima oleh Allah Swt.
Rasulullah Saw. bersabda:
“Barangsiapa yang beramal dengan suatu amalan yang tidak pernah kami tuntunkan, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim)
Dari Hadits di atas dapat diambil kesimpulan bahwa salah satu keutamaan terbesar dalam Ittiba’us Sunnah (mengikuti Sunnah Rasulullah Saw.) adalah diterimanya suatu amalan.
Al Imam Ibnu Qudamah rahimahullah berkata: “Dalam mengikuti Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam terdapat keberkahan dalam mengikuti syari’at, meraih keridhoan Allah subhanahu wa ta’ala, meninggikan derajat, menentramkan hati, menenangkan badan, membuat marah syaithan, dan berjalan di atas jalan yang lurus.” (Dharatul Ihtimam, hal.43)

2. Mengikuti sunnah Rasulullah Saw membuahkan Persatuan Kaum Muslimin
Setiap muslim tentu sangat merindukan terwujudnya persatuan kaum muslimin. Sebagaimana yang telah kita ketahui bersama, bahwa persatuan merupakan perkara yang diridhoi dan diperintahkan oleh Allah Swt., sedangkan perpecahan merupakan perkara yang dibenci dan dilarang oleh-Nya. Allah Swt. berfirman (artinya): “Dan berpegang-teguhlah kalian semua dengan tali (agama) Allah, dan janganlah kalian bercerai berai. “ (Ali Imran:103) 
Al Imam Al Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Allah telah memerintahkan kepada mereka (umat Islam,) untuk bersatu dan melarang mereka dari perpecahan. Di dalam banyak Hadits juga terdapat larangan dari perpecahan dan perintah untuk bersatu dan berkumpul.” (Tafsir Ibnu Katsir,1/367)
Adapun asas bagi persatuan yang diridhoi dan diperintahkan oleh Allah swt. bukan berasaskan kesukuan, organisasi, kelompok, daerah, partai, dan sebagainya. Akan tetapi asasnya adalah: Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan pemahaman As-Salafush Shalih (para shahabat Rasulullah, para tabi’in dan tabi’ut tab’in).
Al Imam Al Qurthubi rahimahullah ketika menjelaskan ayat 103 surat Ali Imran di atas menyatakan bahwa” Allah Swt. mewajibkan kepada kita agar berpegang teguh dengan kitab-Nya (Al Qur’an) dan sunnah Nabi-Nya, serta merujuk kepada keduanya di saat terjadi perselisihan. Allah Swt juga memerintahkan kepada kita agar bersatu di atas Al Qur’an dan As Sunnah dalam hal keyakinan dan amalan. Hal ini agar kaum muslimin bersatu dan tidak tercerai-berai, sehingga akan meraih kemaslahatan dunia dan agama, serta selamat dari perselisihan”. (Lihat Tafsir Al Qurthubi, 4/105).
Mengapa harus dengan pemahaman As Salafus Shalih (para sahabat Rasulullah para tabi’in, dan tabi’ut tabi’in)?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Sebagaimana tidak ada generasi yang lebih sempurna dari generasi para sahabat, maka tidak ada pula kelompok setelah mereka yang lebih sempurna dari para pengikut mereka. Maka dari itu, siapa saja yang lebih kuat dalam mengikuti Hadits Rasulullah dan sunnahnya, serta jejak para sahabat, maka ia lebih sempurna. Kelompok yang seperti ini keadaannya, akan lebih utama dalam hal persatuan, petunjuk, berpegang teguh dengan tali (agama) Allah, dan lebih terjauhkan dari perpecahan, perselisihan, dan fitnah. Dan barangsiapa yang menyimpang jauh dari itu (Sunnah Rasulullah dan jejak para sahabat), maka ia akan semakin jauh dari rahmat Allah dan semakin terjerumus ke dalam fitnah.” (Minhajus Sunnah, 6/368)

3. Pahala Besar Bagi Orang Yang Berpegang Teguh Dengan Sunnah Rasulullah Saw.
Dari shahabat Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Saw.bersabda:
“Sesungguhnya di belakang kalian ada hari-hari kesabaran, kesabaran di hari itu seperti menggenggam bara api, bagi yang beramal (dengan Sunnah Nabi) pada saat itu akan mendapatkan pahala lima puluh.” Ada seseorang yang bertanya: “Lima puluh dari mereka, wahai Rasulullah?” Rasulullah menjawab: “Pahala lima puluh dari kalian.” (Shahih, HR. Abu Dawud dan At Tirmidzi, lihat Silsilah Ash Shahihah,No.494)

4. Jaminan Istiqomah dan Hidayah Bagi Orang Yang Berpegang Teguh dengan Rasulullah Saw.
Selama seseorang berada di atas Sunnah Rasulullah Saw, maka ia akan tetap berada di atas jalan istiqomah. Sebaliknya, jika tidak demikian, berarti ia telah menyimpang dari jalan yang lurus. Sebagaimana yang dikatakan oleh sahabat Abdullah bin Umar radhiyallahu’anhu:
“Manusia akan senantiasa berada di atas jalan yang lurus selama mereka mengikuti jejak Nabi.” (HR. Al Baihaqi, Miftahul Jannah, no. 197).
Shahabat ‘Urwah radhiyallahu ‘anhu berkata: “Mengikuti sunnah-sunnah Nabi adalah tonggak penegak agama.” (HR. Al Baihaqi, Miftahul Jannah, no. 198).
Salah seorang tabi’in bernama Ibnu Sirin mengatakan: “Dahulu mereka mengatakan: selama seseorang berada di atas jejak Nabi, maka ia berada di atas jalan yang lurus.” (HR. Al Baihaqi, Miftahul Jannah, no. 200)
Oleh karena itu, Allah Swt. berfirman (artinya): “Dan jika kalian menaatinya niscaya kalian akan mendapatkan hidayah.” (An Nur: 54)
Asy Syaikh Abdurrahman As Sa’di rahimahullah berkata: “Jika kalian menaati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam niscaya kalian akan mendapatkan petunjuk ke jalan yang lurus, baik ucapan maupun perbuatan. Dan tidak ada jalan untuk mendapatkan hidayah melainkan dengan menaatinya, dan tanpa (menaatinya) tidak mungkin (akan mendapatkan hidayah) bahkan mustahil.” (Tafsir As Sa’id, hal.521)

5. Mendapatkan Cinta dari Allah Swt. dan akan masuk Al Jannah (surga)
Cinta dari Allah Swt. hanya akan diperoleh dengan mengikuti dan mentaati Rasulullah Saw. Sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala (artinya):
“Katakanlah (wahai Muhammad!): “Jika kalian mencintai Allah, maka ikutilah aku! Niscaya Allah pasti akan mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian.”. (Ali Imran:31)
Rasulullah Saw. juga bersabda: “Setiap umatku akan masuk Al Jannah (surga) kecuali orang yang enggan.” Para sahabat bertanya: “Siapakah orang yang enggan itu wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Barangsiapa yang menaatiku, ia akan masuk Al Jannah dan barangsiapa yang bermaksiat kepadaku, maka sungguh ia telah enggan.” (HR. Al Bukhari)

Berikut ini adalah beberapa contoh perilaku Nabi Saw. yang memiliki kedudukan dan keistimewaan bermanfaat untuk kehidupan sehari-hari.
a. Sholat Tahajjud
Sholat Tahajud ialah sholat apabila terjaga daripada tidur malam. Sebaik-baiknya 1/3 malam yang terakhir yaitu dalam lingkungan jam 3 atau 4. Jumlah rakaat sekurang-kurangnya 2 rakaat. Di antara fadhilatnya: Mendapat pengawasan Allah dan menampakkan kesan ketaatan diwajahnya, dikasihi oleh para ahli ibadah dan orang mukmin, percakapannya menjadi hikmah dan bijaksana, dimudahkan hisab ke atasnya, mendapat catatan amal dari tangan kanan.
Firman Allah SWT. yang bermaksud:
“Dan bangunlah pada sebahagian dari waktu malam serta kerjakanlah “sembahyang tahajjud” padanya, sebagai sembahyang tambahan bagimu; semoga Tuhanmu membangkit dan menempatkanmu pada hari akhir akhirat di tempat Yang Terpuji. (Al-Isra 79).
b. Membaca Al-Quran dengan Terjemahannya. 
Membaca (qira-ah) atau tadarus Al-Quran adalah membaca, memahami dan menghayati artinya serta dilanjutkan dengan mengamalkan ajaran-ajaran yang terkandung di dalamnya. Agar kita senantiasa mengkaji dengan serius dan tanpa henti dalam hidup. Alasannya adalah karena Al-Quran merupakan petunjuk dan sumber mata kehidupan.
Firman Allah yang bermaksud:
“Sesungguhnya Al-Quran ini memberi petunjuk ke jalan Yang amat betul (agama Islam), dan memberikan berita Yang mengembirakan orang-orang Yang beriman Yang mengerjakan amal-amal soleh, Bahawa mereka beroleh pahala Yang besar.” (Al-Isra : 9)
c. Jangan tinggalkan Masjid
Masjid adalah sebuah tempat suci bagi orang-orang yang senantiasa mensucikan dirinya secara lahir maupun batin. Masjid merupakan tempat untuk menggembleng pengalaman-pengalaman rohani/spiritual, mengokohkan iman dan tauhid. Jadi sholat yang lebih baik adalah sholat berjamaah di masjid, kerana pahala orang yang solat berjamaah di masjid sangat besar dan pahalanya dikira pada setiap langkahnya ke masjid dan ia juga akan memperolehi pahala berjamaah sebanyak  27 pahala. 
Hadits Nabi Muhammad yang bermaksud:
"Sungguh, alangkah ingin aku menyuruh (para sahabat) melakukan sholat, dan aku suruh seseorang untuk mengimaminya, kemudian aku pergi bersama beberapa orang yang membawa beberapa ikat kayu api menuju (rumah) orang-orang yang tidak ikut sholat berjemaah, untuk membakar rumah mereka dengan api."
d. Sholat Dhuha
Sholat sunat Dhuha adalah sholat yang yang sangat dianjurkan oleh Rasulullah kepada umatnya, kerana sholat sunat Dhuha ini banyak kelebihannya. Di antara kelebihannya ialah pintu rezeki dibuka dan dimurahkan rezeki. Waktu sholat sunat Dhuha ialah dari naik matahari sampai se-penggalah dan berakhir di waktu matahari tergelincir. 
Rasulullah pernah bersabda yang maksudnya:
“Pada tiap-tiap pagi lazimkanlah atas tiap-tiap ruas anggota seseorang kamu bersedekah; tiap-tiap tahlil satu sedekah, tiap-tiap takbir satu sedekah, menyuruh berbuat baik satu sedekah, dan cukuplah (sebagai ganti) yang demikian itu dengan mengerjakan dua rakaat solat Dhuha .” (Hadis riwayat Al-Bukhari dan Muslim)
e. Bersedekah
Seorang sudah bisa disebut mukmin yang sebenarnya, jika sudahbersedekah. Carilah rizki dengan dibarengi sedekah. Demikian juga bertaubatlah dengan bersedekah, jika kita sakit juga hendaknya bersedekah .Banyak sekali ayat-ayat Al-Quran yang menegaskan dan memerintahkanakan hal ini. bersedekah merupakan tolok ukur dan cirri dari orang-orangyang beriman, shaleh dan bertakwa. Bagi orang yang rajin bersedekah, Allah akan gandakan setiap sedekahnya dengan rezeki yang melimpah.
Firman Allah yang bermaksud:
“Dan jangan sekali-kali orang-orang Yang bakhil Dengan harta benda Yang telah dikurniakan Allah kepada mereka dari kemurahan-Nya menyangka bahwa keadaan bakhilnya itu baik bagi mereka, bahkan ia adalah buruk bagi mereka. Mereka akan dikalongkan (diseksa) Dengan apa Yang mereka bakhilkan itu pada hari kiamat kelak. Dan bagi Allah jualah hak milik Segala warisan (isi) langit dan bumi. Dan (ingatlah), Allah Maha Mengetahui dengan mendalam akan Segala Yang kamu kerjakan. (mukjizat) Yang nyata dan Dengan (korban) Yang katakan, maka membunuh mereka, jika kamu orang-orang Yang benar (dalam apa Yang kamu dakwakan itu)?" (Al-Imran : 180)
f. Menjaga wudhu
Nabi Saw., senantiasa dalam keadaan wudhu, baik dalam waktu dan keadaanapapun oleh karena itu, marilah kita teladani sunnah Nabi saw. Ini dalam kehidupan sehari-hari kita. Diusahakan kita agar senantiasa dalam keadaan wudhu. Jangan tinggalkan wudhu. Kalau batal, berwudhulah kembali kalau batal, berwudhulah kembali tanpa putus dan tanpa keluh kesah. Hal itu merupakan kebutuhan kita sendiri dalam rangka untuk senantiasa mendekatkan diri kepada Allah SWT. Kalau kita selalu berwudhu insya Allah akan selamat dari ikatan dan kegenitan dunia dan terjaga dari hal-hal yang kotor (kotoran yang bersifat jasmani maupun rohani). Selanjutnya kita terjaga dari hal-hal yang tidak bermanfaat dan dari perbuatan-perbuatan dosa dan tercela. Karena wudhu merupakan proses pembersihan badan kita secara silmutan dilanjutkan dalam rangka untuk pembersihan fitrah dan hati atau rohani kita.
Kata khalifah Ali bin Abu Thalib:
"Orang yang selalu berwudhu’ senantiasa ia akan merasa selalu sholat walau ia sedang tidak sholat, dan dijaga oleh malaikat dengan dua do’a, ampuni dosa dan sayangi dia ya Allah".
g. Istiqfar
Kita setiap saat dan dalam segala aktivitas apapun diperintahkan beristiqfar. Ketika kita mau tidur, mau makan dalam melakukan suatu pekerjaan, di jalan, di mobil dan di manapun hendaknya selalu dalam keadaan beristiqfar. Orang kalau kuat istiqfarnya, maka insting dan kecenderungan rahmatnya (berguna dan bisa membahagiakan orang lain atau bahkan makhluk lain) sangat kuat sekali. Ia pun juga menjadi penyanyang, penuh dengan keutamaan-utamaan, do’anya mustajab dan firasatnya tajam (mampu berpikir positif dan menerawang ke depan/berpikir visioner).
Firman Allah yang bermaksud:
“Dan Allah tidak sekali-kali akan menyeksa mereka, sedang Engkau (Wahai Muhammad) ada di antara mereka; dan Allah tidak akan menyeksa mereka sedang mereka beristighfar (meminta ampun).” (Al-Anfal : 33)
Orang jika sudah melakukan “tujuh sunnah Rasullullah Saw. Ini, maka akan muncul pada dirinya sifat-sifat terpuji. Bicaranya dakwa, diamnya zikir, nafasnya tasbih, matanya memancar cahaya rahmat. Kemudian dengan menegakkan Tujuh  Sunnah Nabi Saw, maka insya Allah kita akan menjadi hamba Allah yang saleh. Yaitu yang memiliki cirri-ciri : pertama, dia cinta pada Allah dan sangat taat pada-Nya. Yang kedua, biasanya sayang kepada sesama manusia. Selalu berbuat baik dan kesenangannya adalah berbuat baik. Yang ketiga dia asyik memperbaiki dirinya secara terus-menerus tanpa hentinya dalam hidupnya.





BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hadits adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW baik berupa perkataan, perbuatan, pernyataan (taqrir) maupun sifatnya. Dilihat dari segi bentuk, Al-Hadits dibagi tiga yaitu Al-Hadits Qauliyah, Al-Hadits Fi’liyah, Al-Hadits Taqririyah.
Pengumpulan Sunnah Nabi Muhammad ke dalam kitab, baru mulai dilaksanakan pada akhir abad pertama Hijriyah. Pembukuan Hadits yang tersusun secara sempurna dilakukan pada abad ketiga Hijriyah atau abad ke Sembilan masehi.
Hadits merupakan salah satu  sumber ajaran Islam. Ia mempati kedudukan kedua setelah Al-Qur`an. Keharusan mengikuti Hadits bagi umat Islam baik yang berupa perintah maupun larangannya, sama halnya dengan kewajiban mengikuti Al-Qur`an. Oleh sebab itu, Al-Hadits memiliki kedudukan dan keistimewaan yang bermanfaat untuk kehidupan sehari-hari.

B. Saran
Semoga dengan adanya makalah ini kita dapat mencontoh perilaku baik Nabi Muhammad Saw. dalam kehidupaan sehari-hari.



DAFTAR PUSTAKA
Ali, Mohammad Daud Ali.1998. Hukum Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Supriadi dan Abdullah Sathory. 2015. Pendidikan Agama Islam untuk Perguruan Tinggi. Bandung: Maulana Media Grafika
http://imdi15.blogspot.co.id/2013/11/kedudukan-hadits-dalam-hukum-islam.html diakses tanggal 9 Oktober 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar